Selasa, 12 Februari 2013

KISAH KASIH KARTI DI KERETA (K4)



Siang itu, adzan bergema di Masjid kampus. Menggetarkan.  Menggerakkan setiap lelaki muslim untuk segera menghentikan aktivitasnya dan menjalankan sholat Jumat. Aku saat itu baru saja selesai membahas rencana keberangkatan menuju Jakarta bersama teman-teman Psikomedia,  Jihan, Diaz, Ai, Upik dan Nadia. Kami akan melakukan perjalanan yang hebat dari Jogja menuju Jakarta. Reuni Psikomedia angkatan 2000. Membayangkan akan bertemu kakak-kakak angkatan dengan profesi-profesi keren mereka, dengan tampilan-tampilan metropolitan mereka, dengan jutaan rupiah mengalir ke kas kami. Sudah mengendap dalam benakku berpuluh-puluh orang akan hadir dengan antusiasme hanya demi menyambut kami, para punggawa Psikomedia yang hebat. Macam pahlawan Armageddon gitu deh.  Jihan bahkan mungkin sudah bermimpi uang jutaan rupiah itu nantinya dibelikan inventaris komputer  di Jakarta sekalian biar murah..  Bahkan mungkin merek komputer apa dengan fitur yang seperti apa pun sudah ia persiapkan hari itu...Begitulah dia adanya, jiwa bakulnya tak pernah padam...... Orientasi bisnisnya terlalu jauh.. Melebihi kadar positively orang jamak... Namun semangat hidupnya selalu membara... Jiwa mudanya menggelora.. Selalu positif thinking tanpa tendensi ambisi....

Dan kami sudah tak sabar rasanya menuju pertemuan hebat itu. Begitu kelar briefing, aku dan Jihan buru-buru menuju parkiran.Tepat di depan maskam akupun berdoa,

“Ya Allah semoga nanti di kereta aku mendapatkan pacar. Sudah bosan hambamu ini menjadi Jomblowati seumur hidup”.

 Sambil berseloroh aku berujar pada Jihan, Han seminggu lagi aku bakalan ga jomblo lagi soalnya aku bakalan ketemu jodoh hari ini. Jihan langsung mengamini. Amin Kar.......... Jawabnya sumringah. Pipinya yang gembil bersemu merah. Lalu Iqomah pun berkumandang tanda sholat Jumat akan dimulai. Jihan menatapku dengan mata berbinar, senyumnya terkembang. Hidungnya mekar.  Setengah berteriak ia berkata “Kar, doamu bakal diijabah, kamu kan berdoa di hari Jumat, antara adzan dan iqomah sholat Jumat lagi”. Aku terkekeh. Jujur saat itu, aku tidak begitu yakin dengan doaku. Hanya sok-sok-an saja sebenarnya. Asal nyeplos!  Tapi toh karena hebatnya aku mengekspresikannya jadi mereka yang saat itu menjadi saksi hidup doaku, berpikir bahwa aku memanjatkan doa itu dengan sungguh-sungguh.... (Ya iyalah best actrees gitu lhoh!!!)

(Note:disarankan untuk ditiru sesuai kondisi)

Ehmmm Sudahlah... Aku tak ambil pusing dengan doaku tadi siang. Yang kupusingkan adalah persiapanku menuju Jakarta. Saat briefing di kampus tadi sudah disepakati bahwa nanti sebelum adzan maghrib Jihan dan Diaz akan kumpul di kosku dan kami akan berangkat bersama-sama menuju stasiun. Sepanjang sore aku sudah ribut menyuruh Cimot untuk mengantarku ke stasiun, sebab tidak mungkin Jihan, Diaz dan aku  (Kami pembesar Psikomed yang tambun) naik satu motor. Yang ada motor Jihan akan meronta-ronta kesakitan ditumpangi 3 wanita berbodi emak-emak. Jam 6 setelah adzan maghrib berkumandang aku segera sholat maghrib dijamak dengan sholat isya. Selesai sholat, Jihan sudah memanggil-manggil namaku di pintu gerbang. Tinggal diaz yang belum datang. Cimot sudah kuinstruksikan mengeluarkan motornya sembari menunggu bos Psikomed itu datang. 5 menit, ia tak kunjung muncul batang hidungnya. Kami cemas. Jam sudah bergerak di angka  6.15. Kami pias. Diaz tak juga datang. Jihan menelpon diaz. Kata diaz dia sudah sampai. Kami mondar mandir melongok keluar demi memastikan diaz sudah sampai di gerbang kos. Jihan mengkal, ia telpon diaz lagi. Kamu sampai mana Yas kok belum sampai juga?

Aku sampai stasiun,”Begitu kata diaz santai. Kami muntab. Ditunggu-tunggu tak juga datang, ternyata dia sudah sampai di stasiun. Dasar tak konsisten, lupa apa dengan briefing tadi siang? Bukankah dia yang bikin instruksi. Merepet lah si Jihan sepanjang jalan. Entah apa umpatannya. Pasti begini  “Mambu tenan diaz,  wah basi diaz ki”    aku, Jihan dan Cimot pontang panting mengejar kereta. Waktu kami tinggal 10 menit lagi menuju stasiun. Jihan melaju lancar di depanku. Sementara Cimot terngah-engah mengejar laju motor Jihan. Aku gemas. Berteriak-teriak pada Cimot, “ayo mot. Cepet-cepet. Jare pembalap desa. Masak kaya kiye ora bisa ngebut!!!!!”
Cimot pun ikut-ikutan mengkal waktu kusuruh ngebut. Apa kata Cimot “Sabar la Mbak, mengko disit, kiye wis porrrrr!!!” (Aja kelalen yak! baca dengan aksen ngapak! Wajib hukumnya! Karena begitulah realitasnya..  Make it real! )

Sampai di stasiun kami dihadang kereta. Tinggal hitungan menit lagi jadwal kereta akan berangkat. 18.28. Kurang 2 menit lagi. Berlari ke stasiun membutuhkan waktu lebih dari itu mengingat bobot kami yang up normal... Tapi satpam meneriaki kami untuk berhenti. Kereta akan lewat. Aku, Jihan, Cimot dan beberapa pengejar kereta lannya terpaksa berhenti menunggu kereta lewat. Aku cemas bukan buatan. Takut kereta melaju meninggalkan kami. Begitu kereta lewat, Jihan langsung memarkir motor untuk dititipkan sementara aku langsung bergegas menuju stasiun.

Aku berlari sambil kebingungan. Membawa tas di punggung, kardus di tangan kanan dan telepon di telinga kiri membuatku tampak macam orang udik di tengah lautan manusia modern. Aku tengah mencari rombonganku yang tersebar entah kemana. Kami saling mencari. Aku celingak celinguk mencari Diaz, Diaz nlusup-nlusup mencari Jihan dan Jihan berteriak-teriak di telepon mencariku. Akhirnya sosok-sosok calon penghuni kereta Senja Utama Jogja yang menjadi rombonganku ketemu juga. Kereta bisnis non AC belum juga berangkat, peluh sudah mengucur deras. Kelelahan mengejar kereta yang ternyata delay 30 menit. AMPUN dah... Oh ya rombongan kami kurang 1 orang! Ai belum juga kelihatan. Aku kebingungan mencarinya. Saking bingungnya kami bertelepon sambil berhadap-hadapan. Ai sudah ada di depanku tepat saat kereta datang. Piuhhh... Petualangan kami mengejar kereta berakhir sudah...
Belakangan aku baru sadar, kenapa aku mesti menyuruh Cimot mengantarku padahal Jihan bawa motor sendiri. Bukankah lebih efektif jika aku naik motor Jihan saja??????
Efek cemas rupanya luar biasa.. Telah membuntukan pikiran seseorang sebuntu-buntunya.

Maha suci Allah yang mengatur segala sesuatu menjadi indah. Jihan yang bertugas membeli 6 tiket rupanya tidak bisa mendapatkan 3 tempat duduk berderet untuk 6 orang.  Ia merepet, mengumpat mbak-mbak petugas karcis yang tulalit kenapa 6 tiket itu tak disatukan saja, maksudnya dijadikan 3 pasang sekalian. Dasar tulalit. Dan tentu Jihan lebih tulalit kenapa ia tak minta sebelumnya pada mbak itu. Ia pikir mbaknya tak kan tulalit macam itu. Parah. Ternyata mereka sama-sama tulalit. Sama sama tak bisa membaca potensi pikiran tulalit masing masing. Bodoh!.
Alhasil. Hanya 2 pasang nomor tiket saja yang berderet. Sementara 1 pasang lainnya duduk terpisah. Akhirnya aku dan diaz mengikhlaskan diri untuk duduk terpisah. Aku duduk di nomor terdepan berhadapan dengan mas-mas dan bapak-bapak. Sementara di sebelahku diduduki seorang ibu-ibu muda. Kereta berjalan, aku dihinggapi rasa sepi dan terasing karena dikelilingi orang-orang yang tak kukenal. Akhirnya aku beringsut menuju tempat ai dan upik. Aku makan malam di kursi mereka, berdesak-desakkan sambil membicarakan mas-mas di depanku yang tak kuingat apa yang kubicarakan pada mereka saat itu. Yang kutahu saat itu mas-mas di depanku hanya bicara seperlunya. Kalau perlu malah tak usah bicara sekalian. Tatapannya tajam. Suaranya berat. Aku tahu itu saat ia menelepon orang, kutaksir itu adalah pacarnya. Lagaknya menelepon tentu saja terinspirasi aku yang ditelepon bapakku. Dia sih inisiatif sendiri mengabarkan posisinya.. Tapi ia lumayan baik hati ternyata. Ketika aku kesulitan menaikkan tas ranselku yang montok aduhai, padat berisi, bahkan bertonjolan saking banyaknya muatan persis seperti pemiliknya, ia berbaik hati membantuku mengangkat tasku ke bagasi atas. Ada untungnya juga berkereta dengan lelaki tambun. Cocok untuk angkat bawaan berat...

Tapi tampaknya, mas-mas tambun itu bosan juga dijejeri bapak-bapak yang mudah tergoda hembusan angin semilir. Mas-mas tambun itu turut beringsut dari tempat duduknya. Seperti apa yang kukatakan tadi teman, bahwa lelaki tambun yang ada dihadapanku adalah lelaki yang kurang inisiatif sebab ia selalu meniru apa yang kukerjakan. Aku telepon, ia turut. Aku beringsut, ia ikutan. Aku menghisap tulang ayam, ia menghisap rokoknya! Ckckck.

Aku beringsut ke tempat ai dan upik sambil makan malam. Biasalah... ayam goreng depan kos yang praktis. Tapi, lama berdesakkan dengan manusia-manusia mungil, ai dan upik membuatku tak enak hati. Walaupun mereka kecil dan ikhlas menampungku sementara tapi aku telah merampas hak mereka untuk duduk dengan nyaman. Padahal kami membayar dengan tarif yang sama. Betapa dzolimnya aku jika aku terus melesakkan tubuhku di kursi mereka. Akupun kembali ke tempat dudukku semula. Dan dihadapanku telah duduk dengan tenang mas-mas tambun itu. Sosoknya yang tambun, kelabu dan dingin membuatku cukup ngeri telah mengucap doa tadi siang. (hehe) Tapi kuyakinkan hatiku bahwa ia pasti sudah berumur matang dan punya pacar paling tidak. Jadi sepertinya tidak mungkin deh jika dia adalah jodohku... Tak mungkin sepragmatis itu. Mungkin saja melalui lelaki ini aku kan menemukan jodohku... Atau mungkin jalan lainnya..Atau jodohku orang dari antah berantah yang tak kenal sebelumnya. Entahlah.. Hanya Allah yang tahu..  Ga usah ditebak2, panitia tidak menyiapkan hadiah.. hahaha

Malam makin senyap. Penghuni senja utama sudah larut dalam mimpi indah mereka masing-masing. Bapak-bapak di sebelah sosok mas-mas tambun sudah daritadi mengeluarkan sinyal kepulasan tidur dengan dengkurnya yang aduhai. Sementara ibu-ibu muda di sebelahku juga sudah tenang dalam tidurnya. Diaz kulirik sudah berkali kali longsor tak kuat menahan tubuhnya akibat posisi tidur yang berantakan.

“Darimana dek?” Mas tambun yang dingin itu memulai pembicaraan
“Dari jogja mas” Kenapa juga ditanyain.. uda pasti lah dari jogja. Ga liat apa ini style mahasiswi jogja. Intelek. Original style. ... Dasar tambun jawabku dalam hati
Zzzzzzzzzzzzz... diam lamaaaaa
‘Kalo mas?”
“Dari wonosari, sepupu ada yang menikah” o pantes tua, sepupunya aja uda pada nikah..
Zzzzzzzz... kembali diam......
“Kuliah?”
“iya” jawabku sambil tersenyum manis...  Dikira aku emak-emak apa? Bodi emang emak-emak tapi liat dong, wajahku kan imut-imut..*tsaaaaaaah

Dan jadilah sepanjang malam itu kami berbincang... lumayan lah untuk mengisi malam. Kami berbincang ini itu.. saling memperkenalkan diri. Tertawa.. tawa.. (aku yang lebih banyak ketawa tiwi sih) sementara mas tambun itu tetap sok cool huh jaim yee.. Dia bicara dengan spasi yang panjang untuk menengahi pertanyaan demi pertanyaan.. Kalau aku yaaa gitu deh, seperti anak kecil, skeptis, tanya ini tanya itu. Tanya melulu lah.... Malu-maluin. (hehe) 

Ketahuilah wahai kawan, bicara, bertanya dan tertawa atau dalam istilah yang lebih representatif, mengobrol sudah jadi bawaan lahirku. Bahkan baru brojol saja aku sudah mengakrabi bu bidan. Hebat bukan?.. Mas tambun itu, adu duh...Ia bagai kalong.. tak bisa tidur walaupun sudah sepertiga malam.. Pastilah ia sering melakukan Qiyamul lail.. Tapi tampaknya tak mungkin.. Jika iya di dahinya pasti sudah membekas stempel 3 lingkaran khas para penggiat sholat sunnah... (hehehe) Sementara itu, mataku sudah berpendar redup bagai lampu 5 watt.. He knew me so well ternyata.. Ia pun menyuruhku tidur.

Note: Tak perlulah aku sampaikan secara gamblang pembicaraan yang membuatku betah bertahan hingga pagi, terkikik, tertawa lepas di antara keheningan malam, itu rahasiaku dengan mas tambun saja. Kalau ingin tahu, sebenarnya aku juga sudah lupa apa yang kami bicarakan.. hahaha)

Pukul 5 pagi aku sudah siap bergegas. Mas anta, leader sekaligus official perjalanan kami sibuk membangunkan rombongan kami. Aku juga terbangun. Beres-beres sebentar dan berusaha menurunkan tas ransel bermuatan penuh yang kutaruh di bagasi atas. Baru saja akan kuturunkan mas tambun bangun dari tidur kalongnya. Tak tahu marah akibat tidurnya terganggu atau perhatian padaku eciieeh, ia berkata,  “kalo mau nurunin bilang biar aku aja yang nurunin kan berat”. 
Segera tas ransel biru pinjaman adikku berpindah tangan. Dari mas tambun yang baik hati itu ke tanganku yang pasrah dinasehatinya. Sial. Rupanya stasiun bulan-bulan tujuan kami masih jauh di depan, padahal kami bertujuh sudah siap dengan masing-masing barang bawaan kami sambil berdiri. Uhhh malu aku pada mas tambun. Padahal tujuan kami sama, tapi ia masih bisa tidur sejenak. Ingin rasanya aku kembali ke tempat dudukku tapi sebagai muslim yang baik, aku mana tega membiarkan teman-teman yang memilih berdiri dengan tegapnya seperti tentara itu tetap berdiri menahan malu sementara aku enak-enakan duduk dan ngorok...hmmm..

Terkantuk-kantuk dan penuh peluh akibat keberatan mengatasi bawaan yang berat di punggungku ditambah kondisi kereta tanpa AC membuatku tak tampak cantik lagi. Lepek sudah dandananku sejak sore. Kecut pula aroma tubuhku. Belum lagi kereta yang kadang limbung, tak tahu adat, mengerem mendadak membuatku mati-matian memperhatikan keseimbangan posisiku. Kalau aku terjatuh pasti tengsinku bertubi-tubi. Tengsin pertama: terlalu semangat bersiap-siap keluar dari kereta padahal untuk sampai di stasiun tujuan kami, masih sangat cukup untuk menonton Pepy the explorer sampai habis. Tengsin kedua: ya itu! Kalau jatuh kedabrug, Kereta pasti bagai dihantam gempa bumi.

Kabar gembira itupun datang. Kereta sampai di stasiun bekasi, tujuan kami. Aku yang sudah berkemas beserta rombonganku terhuyung-huyung keluar dari kereta. Tergopoh-gopoh mengikuti langkah sang leader. Kesana ke mari. Sok yakin benar leader kita itu, padahal Mas Anta yang katanya jadi leader sama gelapnya dengan kami soal jalan keluar stasiun. Entah ke barat atau ke timur, tidak tahu mana utara mana selatan asal jalan saja mengikuti langkahnya yang gesit sementara kami pontang panting dengan berbagai tas dalam genggaman. Akhirnya setelah capai mengejar mas Anta dan dengan hasil yang nihil menemukan jalan keluar dari stasiun,  kami berhenti di sebuah peron panjang. Kami letakkan barang-barang disitu. Bercanda-canda sebentar lalu mas tambun itu mendatangiku. Lantas pamit padaku. 

Duluan ya Ika...
Setelah itu habislah aku digoda teman-temanku sepanjang hari. Siulan kurang ajar mereka tak henti menggema.  Suit suit.. Yang paling heboh berkoar-koar menggodaku tentu saja diaz. “Pantes wae Karti betah. Sewengi cekakak cekikik karo mase kae...” Kowe ngerti ra, penumpange berisik ngrungokke kowe le cekikikan!
‘Ai menimpali, pantes dari tadi ki kok ono penumpang asyik banget le ngobrol, ngasi cekikikan, oalah jebule Karti to!” Ihiiirrrrrrrrrrrrrr...
Jihan langsung menyambut dengan mata berbinar, senyum terkembang, hidung kembang kempis dan berkata sekuat tenaga, padahal tadi siang Karti berdoa di antara adzan dan iqomah, berharap dapat jodoh di kereta.... Eaaaaaaaa eaaaaaaaaaaaa...
Ihirr mbak karti. Nadia ikut-ikutan..
Iya tadi Karti semangat banget ceritanya lho sampe kedengeran di gerbong depan, Upik menambahkan kisah yang sama sekali tak dramatis ini...
Ciee cieee suiitt suiit ihiirrr Karti dapat jodoh nih ye.. selamat ya...
Mas anta tertawa lebar, katanya ia turut andil mengantarkan jodohku. 

Tentu saja peristiwa ini membuatku jadi bulan-bulanan selama kami rehat di rumah Mbak Dila, pacar Mas anta yang kelak jadi istri mas anta. Bertubi-tubi mereka menggodaku. Termasuk membuat tagline K4 yang aneh, Kisah Kasih Karti di Kereta.  Habis sudah reputasiku sebagai DP Perusahaan Psikomedia dibantai mereka dengan godaan-godaan tanpa unsur intelektual sedikitpun. Tanpa kiasan sastrawi. Tanpa perhitungan matematis. Dan tentunya tanpa AMPUN. Duh duh duh.. Betapa mereka begitu bahagia saat itu kawan, seperti mahasiswa yang berhasil menggulingkan rezim orde baru. Mereka tertawa, terkikik hingga memegang perutnya yang mengeras, menggodaku habis-habisan. Parah... Ketahuilah kawan... jika Tuhan mengirimkan pahala untuk orang yang ikhlas membahagiakan kawan-kawannya maka akulah yang mendapatkan sekarung pahala.. Itulah bukti bahwa aku Muslimah yang baik!!! Statement yang tak berkorelasi bukan??? Kalau kamu bingung, akupun juga bingung sebenarnya...
Oh ya perlu aku kabarkan bahwa reuni berjalan lancar.. Apa isinya? Sudah disadur di buku besar Psikomed. Cari tahu sendiri! Kalau kau beruntung mungkin kau akan mendapati K4 juga disana. Tapi rasanya tak mungkin..

Ah sungguh tak tega rasanya melihat muka penasaran kalian, oke lah akan kubocorkan satu rahasia penting dalam pertemuan itu...Inilah rahasia besar itu, simaklah dengan saksama
Impian Jihan untuk membeli komputer bukan mustahil untuk diwujudkan karena uang kas kami saat itu bertambah kawan,  sangat cukup untuk mencicil komputer dengan membeli meja komputernyanya terlebih dahulu.. Bisalah kiranya kalian mengira-ira sendiri seberapa besarnya... (hehehe)

Setelah reuni usai, kami berpencar. Aku dijemput tanteku. Diaz pulang bersama mas Janu, dikuntiti Upik dan Nadia. Jihan dan ai mau sok-sok-an langsung pulang padahal nasib apes akan mereka hadapi malam nanti. Nasib apes itu sudah jelas buah akibat menggodaku sepagi itu... Nasib akibat tak tahu info. Terpelajar tapi tak up date. Tak tahu kalau tiket yang mereka pegang untuk balik jogja tak laku di stasiun bekasi. Mereka salah menjemput kereta. Bodoh! Lagi-lagi bodoh bukan? Dan dua orang tulalit itu adalah Dewan Pimpinan Psikomedia.. Yang satu DP Hubungan Jaringan yang jiwa entrepreneurshipnya menggetarkan. Satunya lagi DP Desain Produksi yang desainnya oke punya. Malang nian nasib Psikomed... Emang bener apa kata orang, “wong bejo kui ngalahke wong pinter”.. Orang pintar minum tolak angin! Trus wong bejo minum apa dong? Ya ya ya ga usahlah dipikir...Sangat tidak esensial.

Saat aku berkenalan dengan mas tambun, ia sempat menanyakan akun fesbukku. Akupun jadi penasaran, benarkah ia meng-addku menjadi kawannya?
Tapi Sayang, mas tambun itu ingkar janji. Ia tak mengadd-ku. Pasti ia telah lupa padaku. Yang meng-add ku justru laki-laki bernama amin.. Pp nya ganteng, wajahnya mulus, kulitnya putih mampus,naik mobil bagus, tapi bodinya tak surplus artinya ia bukan mas amri alias mas tambun  yang kukenal di kereta. Ia adalah orang yang berbeda. Aku diamkan saja dia. Orang ganteng ini apa urusannya denganku. Tak penting. Tak ada faedahnya aku menyetujui permintaannya untuk menjadi temanku.Aku tak tertarik pada lelaki flamboyan macam itu. Buat apa lelaki mulus begitu, yahhhh bikin keki aja jadi cewek, kalah mulus...

Seminggu berselang, ketika aku membuka fesbuk, masih tertungging nama Amin yang kemarin kuacuhkan.  Namun, profil picturenya telah berganti. Oh may, si ganteng yang mulus, putih mampus, berbodi tak surplus itu berubah wujud menjadi lelaki tambun, kelabu yang kukenal di kereta! Dialah Mas Amri yang kukenal. Manusia memang penuh keterbatasan, terlebih aku yang sangat terbatas mencermati getaran suara yang beradu dengan goncangan dan deru kereta malam. Amri adalah amin...

Yeah... aku di add sama mas tambun teman! Horeeyyyy! Dan ternyata, dia sudah punya pacar!

Cerita selesai. Kisah kasih karti di kereta berakhir dengan dramatis, romantis, TRAGIS.
SEKIAN DAN TERIMAKASIH.