Selasa, 30 Juli 2013

Adakah doa yang tak terjawab?

Adakah doa yang tak terjawab?
Tidak ada doa yang tidak terjawab, meski jawabannya adalah TIDAK.
(Chatting dengan Tuhan, Dimas Bramasto)

Ya, doa saya terjawab meski jawabannya adalah TIDAK. Doa apa yang selama berbulan-bulan ini saya panjatkan? Saya ingin kuliah profesi di UGM tahun ini, 2013. Menjadi Psikolog. Bergelar M.Psi, Psi di tahun 2015. Harapan saya nantinya bekerja dengan waktu yang fleksibel agar bisa mengurus rumahtangga dan anak-anak secara lebih baik. Ternyata Tuhan belum mengijinkan rencana itu terjadi. Atau tidak mengijinkan? Saya tidak tahu. Yang jelas apa yang saya harapkan untuk kuliah profesi tahun ini tidak dikabulkan.

Doa adalah permohonan yang dipanjatkan hambanya kepada Tuhan atas harapan yang ingin ia capai. Ada yang bilang dalam berdoa tidak boleh mendikte Tuhan. Yamasak Tuhan didekte sih, Tuhan kan Maha Tahu. Gita kemarin bertutur, kita jangan mendikte Allah dalam berdoa. Biarkan Tuhan yang berkehendak dengan caraNya. Misal nih kita ingin duit, tapi jangan berdoa begini. Ya Allah tolong proyek ini disukseskan agar saya punya duit. Tapi bilang begini, Ya Allah saya ingin punya duit saya mohon rizqiMu. Itu poinnya. Tidak mendikte kan? Tapi juga jangan lantas tidak berusaha, pasrah begitu saja dan berpedoman bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Tahu. Allah kan juga ingin melihat kesungguhan usaha kita dalam mencapai harapan melalui doa.

Dalam uraian Bapak Prof Quraishi Shihab tadi pagi sehabis sahur, ada hadist yang bunyinya kira-kira begini “Yang dapat mengubah ketetapan Allah hanyalah doa”. Jika merujuk pada hadist ini, maka kita diisyaratkan untuk berdoa. Kita diperintahkan untuk meminta agar harapan kita menjadi realita. Tapi berdoapun harus memakai etika. Ada adab yang harus kita perhatikan. Berdoalah dengan penuh harap, dengan penuh kesungguhan, dengan tulus, dengan santun, dengan optimisme bahwa Tuhan akan mengabulkan doa kita. Hindari doa yang seperti ini: “Jika Engkau berkenan maka..” menurut Bapak Quraishi Shihab hal itu menunjukkan bahwa seolah-olah kita tidak bersungguh-sungguh dengan doa kita.

Dan tentang dikabulkannya doa terkadang Allah tidak langsung mengabulkan pada saat itu juga. Terkadang permohonan kita ditangguhkan. Terkadang dijawab dengan jawaban tidak dan diganti dengan yang lebih baik menurut Allah SWT. Contoh permohonan yang ditangguhkan adalah doa Nabi Ibrahim AS. Nabi Ibrahim AS saja perlu ribuan tahun agar doanya bisa terkabul. Beliau mengharapkan turunnya Nabi. Baru 2000 tahun kemudian lahir Rasulullah SAW. Contoh doa yang dijawab Tidak. Ya doa saya di atas. Dan doa nya Gita. Doa Gita pernah lho dijawab TIDAK. Padahal ikhtiarnya mati-matian untuk bisa masuk Fakultas Seni Rupa ITB. Ia ingiiin sekali kuliah disana. Itu mimpinya sejak lama. Bahkan sejak kecil. Dan ketika tidak diterima katanya sakitnya kayak ditusuk samurai. Sama Git. I know what you feel. Hiks. Tapi toh ternyata Allah SWT menggantinya dengan jalan yang lebih baik. Bapak Ibunya menyuruh Gita masuk jurusan komputer agar cepat kerja dan bla bla bla. Gita nurut aja dan akhirnya keterima di jurusan ilmu komputer. Walaupun di tahun-tahun awal nangis-nangis dan merasa salah jurusan tapi ipekanya malah jadi 3.8 padahal menurut Gita ia nggak sebaik itu dalam mengerjakan ujian. Gita juga sempat berniat ikut ujian ITB lagi lho tahun depannya. Well, akhirnya dia menyadari. Doanya dijawab tidak dan diganti dengan sesuatu yang lebih baik. Ia merasa jalannya yang terbaik ya jalan yang sekarang. Kuliah di Ilmu komputer. Bakatnya pun masih bisa terfasilitasi walaupun tidak kuliah di jurusan desain.

Thanks to Allah yang membawa pemahaman saya mengenai doa melalui Gita, Prof Quraishi Shihab dan juga Dimas Bramasto. Saya tersadar. Saya kini semakin percaya bahwa permohonan saya akan diganti dengan sesuatu yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan saya, sesuai dengan ridlo Allah SWT. Bukankah apa yang kita pandang baik belum tentu baik buat kita? Saya ingin berkarir sebagai Psikolog tadinya. Tapi Allah lah yang tahu mana yang terbaik. Saya sekarang sedang mengangkat tangan lagi. Menghaturkan doa lagi. Berikhtiar lagi memohon ridlo atas harapan baru yang ingin saya capai. Semoga ini yang terbaik menurut Allah SWT. 
Apa doa saya? Sssst. Saya rahasiakan dulu. In progress. Wish me luck J    

Senin, 15 Juli 2013

Balada hidup seorang gadis


Bukannya saya tidak mau mensyukuri nikmat, tapi saya sering bingung menempatkan diri. Sebetulnya saya ada di posisi umur berapa?

Secara yuridis,  di tahun 2013 ini saya berusia 23 tahun. Tapi saya sering dikhianati kondisi biologis saya yang terkadang membuat saya tampak seperti beberapa tahun lebih tua atau lebih muda. Yang parah, kelebihan usia atau potongan usia yang tampak pada pandangan orang-orang terhadap tampilan saya itu teramat ekstrem.

Suatu ketika saya pergi ke Kantor Polisi. Ngurus SKCK untuk mendaftar CPNS. Ketika sang polisi mengecek surat saya, beliau bertanya: belum menikah mbak?
Karena saya merasa gadis, perawan tingting dengan tegas saya jawab: Belom Pak.
Dia melihat foto saya dan memandangi saya.
Betul belum menikah? Dia mengulangi pertanyaannya.
Iya belom Pak. Saya sebal betul jawabnya.
Mbaknya lahir tahun berapa sih?
Tahun 90.
Bapak itu menatap saya prihatin. Kombinasi antara geli, dan kaget, gak enak, tapi pengen ngomong.
Mbak jangan marah ya. Sory. Nuwun sewu jangan marah lho ya. Mbaknya ini kok tampilannya kayak udah tiga puluh tahun lebih. Makanya saya kaget waktu mbaknya bilang belom nikah.
Dan itu diaminin sama pak polisi di sebelahnya yang teganya bilang, saya kira kelahiran 80’an mbak. Lebih tua dari saya.
Bisa dibayangkan ekspresi saya waktu itu? à Pengen ngelempar bom molotov!!!

Kalo ada yang memanggil saya ibu, atau mengira saya ibu-ibu itu sih masih wajar. Udah biasa soalnya. Saya juga paham dengan perawakan saya yang semacam ibuk-ibuk. Pernah konyol juga waktu di bank. Saya baru lulus SMA. Dan bodohnya jarang pergi ke bank dengan tampilan kasual. Biasanya kan pake seragam. Dan saya tidak pernah tahu bahwa SOP di bank itu semua yang perempuan dipanggil ibu. Saya protes dipanggil ibu sama mas teller gantengnya. Saya minta dipanggil mbak. Malu-maluuuiiiin. Etapi kalo peristiwa di kantor polisi itu beneran mak jleeeeeb banget rasanya. Ekstrem. Sumpahgakbohong. Haha.

Ada cerita lagi nih. Pernah ada seorang ibu datang ke rumah. Tamunya Bapak. Sama Bapak saya diperkenalkan dengan tamu tersebut. Ini anak saya. Saya salim dong sama ibu itu. Eh dia nanya. Kelas berapa dek? Lha saya jawab kelas tiga SMA ngawur aja gitu padahal kuliah tahun ketiga. Hehe.
Lalu pernah juga ada anaknya teman ibu yang berkunjung ke rumah. Masih SMA kelas 2 atau kelas 1 ya. Saya lupa persisnya. Tapi masih imut-imut lah. Kala itu saya sudah Sarjana Psikologi. Kami ngobrol-ngobrol. Eh di saat obrolan si ibu nanya mbak ika mau ngapain habis sarjana. Eh anaknya kaget. Dia pikir saya masih sekolah sama kayak dia. Dia bilang lho sudah sarjana mbak? Saya pikir seumuran saya. Saya jawab dong: Laaah. Emang muka saya masih imut-imut? Haha. Jawab dia yah sebelas dua belas sama temen sekolah saya sih. *Jadi mikir mungkin temen-temennya kali ya yang mukanya udah ketuaan. Haha.

Well, tadinya saya pikir ini masalah. Mungkinkah cara berpakaian saya, tampilan muka saya atau postur tubuh saya. Tapi kalau dipikir-pikir lagi ya terserah orang deh mau anggap saya umur berapa. Toh orang punya persepsi masing-masing. Kayak melihat suatu objek dari berbagai sisi gitu, masing-masing pasti punya perspektif berbeda. Ya sutra lah ya.... Yang penting ga keliatan lebih tua dari ibu saya. Lhooo.. :)

Walaupun Kita punya Keterbatasan, tapi Tuhan punya Keajaiban


Pernahkah merasa tak berdaya dengan rentetan tuntutan?

Pernahkah merasa tak sanggup menghadapi tumpukan kesulitan?

Pernahkah merasa terpojok oleh kesulitan yang menghimpit?

Hmmm..

Sebagai manusia biasa, saya pernah akrab dengan rentetan tuntutan, berbagai kesulitan, dan terpojok dalam situasi yang sulit. Sepertinya sudah tidak ada daya lagi untuk berjuang. Rasanya sudah mengerahkan tenaga maksimal tapi sudah mentok. Tak kuat lagi melangkah. Mau ngeden? Mau main curang? Jujur saya tidak sanggup.

Satu contoh, saat itu saya dan Ardias sedang sibuk dengan PKM (Program Kreativitas Mahasiswa), KKN, dan tugas-tugas kuliah yang naujubillah banyaknya. Mengurusi PKM saja rasanya sudah jungkir balik. Kami benar-benar mengabdi untuk urusan PKM itu. Mengurus proposal lah. Birokrasi lah. Administrasi lah. Tetek bengek urusan PKM harus kami handle sendiri berbarengan dengan urusan KKN yang sedang sibuk-sibuknya cari pendanaan dan tugas kuliah yang hampir setiap hari mengumpulkan paper dan laporan. Mungkin benar kata Peterpan, serasa kaki di kepala, kepala di kaki. Kami pontang panting membagi waktu kami. Banyak waktu kuliah yang kami korbankan. Kami sudah sering ijin. Dan tibalah saat kami harus membayar uang KKN. Tapi kami hanya punya waktu maksimal satu jam saja di tengah waktu ‘luang’ kami. Tidak boleh lebih dari itu karena Dias sudah tidak punya stok waktu untuk membolos. Dia sudah kebanyakan membolos, jika hari itu dia membolos, ia terancam tidak bisa ikut ujian. Baiklah. Karena urusan bayar membayar tidak bisa diwakilkan dan harus dibayarkan pada hari tertentu sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan, kami pun berangkat menuju BNI. Begitu sampai disana, duhai ibu, Bank sebesar itu sudah macam pasar. Lobby BNI penuh sesak oleh customer Bank dan para mahasiswa yang akan membayar KKN. Kami masuk seperti orang linglung saja. Celingak celinguk kemudian dihampiri satpam. Biasalah satpam Bank menyapa dengan ramah. Tanpa ditanya pun mereka sudah paham bahwa kami adalah mahasiswa yang mau bayar KKN. Satpam tersebut menyuruh kami untuk ambil antrian dulu. Kami diminta memencet mesin untuk ambil kertas antriannya. Entah mendapatkan nomer berapa saat itu. Kami hanya ndomblong melihat antrian. Penuh sesuk begitu. Entah kami harus menunggu berapa puluh nomor. Sepertinya waktu itu adalah tenggat waktu pembayaran, atau hanya hari itu yang bisa kami luangkan untuk membayar ya. Saya sudah lupa. Kalau tidak salah, dari cerita teman-teman yang sudah membayar, ngantrinya bikin keriting karena saking banyaknya. Pikiran saya sudah macam-macam. Bagaimana kalau nanti nggak bisa ikut kuliah. Bagaimana kalau ngantri sampai siang. Bagaimana dengan pekerjaan kami yang belum terselesaikan. Dan akhirnya saya blank. Saya suruh Dias untuk duduk. Syukurlah masih ada tempat duduk untuk kami berdua. Jujur, kenapa saya suruh duduk, soalnya saya sudah lemes dan nggak bisa mikir lagi. Sudah pasrah aja begitu. Pasrah sepasrah pasrahnya. Mau telat kuliah ya monggo lah.

Eeeh baru duduk sebentar ada petugas yang menghampiri, petugas tersebut menanyakan apakah kami mau membayar KKN. Kami jawab iya. Kemudian petugas tersebut menyuruh kami naik ke atas. Katanya kami akan dilayani di ruang atas karena antrian banyak. Sampai di lantai dua kami celingak celinguk karena tidak ada mahasiswa lain selain kami yang membayar di lantai atas. Kami hanya menunggu sebentar saja, lalu ditemui oleh petugas, membayar, tandatangan dan beres! Tak sampai sepuluh menit! Dan setelah itu nggak ada lagi yang disuruh naik ke atas untuk melakukan pembayaran seperti kami.

What a miracle!

Teman saya misuh-misuh waktu saya ceritakan bahwa kami tak perlu ngantri sampe keriting. Dan hanya sepuluh menit! Hehe. Dias dan saya bisa masuk kelas lagi. Nggak perlu mbolos! Yess! Kami nggak perlu Titip Absen atau TA demi menyelamatkan absensi kami yang diambang batas toleransi. Dias dan saya selamat dari kecurangan. Yeaay :) 

Sesudah kesulitan ada kemudahan.

Dan sesudah kesulitan ada kemudahan.

Allah bahkan mengulanginya dua kali dalam ayat 6 dan 7 surat Al Insyiroh. Itu yang selalu saya pegang. Janji Allah itu pasti. Ketika sudah maksimal usaha kita. Lalu kita mentok pada jalan buntu, akan selalu ada pertolongan selama kita yakin. Biarlah Allah dengan kuasaNya yang menyelesaikan permasalahan kita.

Sebuah Quote menarik dari Jaluddin Rumi mungkin bisa menjadi ilustrasi. “Dan jika semua jalan ditutupNya, akan ada jalan tersembunyi yang dibukakan Allah SAW yang tidak pernah akan kau bayangkan sebelumnya”. Ya. Kita tidak pernah tahu rahasia Allah. Bahkan Nabi pun juga tidak pernah tahu jalan apa yang Allah persiapkan untuk mereka. Saya selalu ingat petikan kisah yang ditulis Salim A Fillah tentang para Nabi.

Ketika Nabi Musa AS terpojok oleh tentara Firaun di Laut Merah, beliau tidak pernah tahu mengapa Allah menyuruhnya mengetukkan tongkatnya di sebuah batu. Ketika Allah perintahkan untuk mengetukkan tongkatnya, Ia lakukan saja dengan keyakinan. Ternyata Allah belah Laut Merah. Allah ijinkan Nabi Musa dan pengikutnya untuk menyusuri Laut Merah, berlari menghindari Firaun.  

Nabi Nuh AS, tidak pernah tahu mengapa Allah menyuruhnya membuat bahtera sebesar itu padahal mereka berada di dataran yang jauh dari perairan. Beliau hanya melakukannya karena iman kepada Allah. Meski disangka gila. Meski dicerca. Beliau tetap teguh pada keyakinannya. Ternyata Allah datangkan air bah. Ternyata bahtera itu digunakan untuk menyelamatkan Nabi Nuh AS dan pengikutnya yang beriman.

Nabi Ibrahim AS tidak pernah tahu jika kemudian Allah mengganti puteranya Nabi Ismail AS yang nyaris akan disembelih dengan domba besar. Bayangkan betapa terpojoknya Nabi Ibrahim kala itu. Ismail adalah putra yang ia nantikan berpuluh-puluh tahun. Namun, ia rela, dengan iman kepada Allah ia laksanakan apa yang ia yakini sebagai perintah Tuhannya. Maka Allah ganti keimanannya dengan peristiwa besar Idul Adha.

Satu kata! Yakin. Allah menjanjikan kemudahan bagi orang-orang yang telah melakukan segala sesuatu secara maksimal kala dihadang kesulitan. Allah memerintahkan kita untuk berikhtiar, untuk berusaha. Selama yang kita lakukan adalah sesuatu yang positif, keajaiban itu akan datang secara tak disangka pada saat yang tak terduga. Tentunya, pada saat yang tepat! J


  

Kamis, 11 Juli 2013

Benci jadi damai :)))))

Pernah benci banget sama orang?

Saya pernah dan saya ketakutan sendiri pada kebencian saya ini. Hahaha
Kenapa takut. Ya gimanalah, orang-orang sering bilang kan, ati-ati kalau benci sama orang. Bisa jadi cinta lho nanti. 
Glek. 
Duuuh saya ngeri deh kalau kemudian disandingkan dengan orang ini sama Allah di kemudian hari. Apalagi udah banyak kasusnya. Mbak tetangga idola saya dulu juga sebel ndulit sama suaminya yang sukanya senyum-senyum najong sama dia pas SMP. Trus temen masa kecil saya juga ngalamin hal yang sama. Tapi dia belum sampe nikah sih. Nah dua orang yang saya ceritain ini bersekolah di SMP yang sama. Almamaternya sama. Mungkin kutukan almamater kali ya. Hehehe. Itu yang udah terbukti. Nah temen-temen kerja suka banget ngompor-ngomporin saya tuh. Kalau dalam bahasa saya macok-macokke. Nggodain saya dengan temen kantor saya sebut saja X. Saya jadi makin sebeeeel sama orang itu. Malah ada yang sampai berdoa dia jadi jodoh saya lagi. Alhasil setiap hari, setiap saat, kalau dia lagi aneh perilakunya, saya ketok-ketok meja sambil bilang amit-amit. Eh malah semakin riuh dibecandain. Hayooo mbak ika... hayooo ntar jodoh lho. Makin keceng pula lah saya ketok-ketok meja. Pernah saya sampai marah besar sama Udin menyangkut perkara ini. Padahal saat itu saya lagi puasa. Bodo amat lah. Kemarahan saya udah diujung rambut. Saya muntab. saya menyalahkan Udin yang demeeeen banget nggodain saya dengan dia. Saya bilang gini ke Udin. 
Udiiiiiin, kamu harus tanggung jawab pokoknya. Dulu, kalau diukur kadar ketidaksukaanku pada si X  masih pada batasan normal. Aku masih bisa mentoleransi keanehan dia. Kalaupun dia aneh dan aku nggak suka keanehan dia, itu masih dalam batas wajar. Tapi karena kamu menstimulusku dengan godaan kamu yang bertubi-tubi, aku jadi makin nggak suka sama dia. Kamu tahu kadarnya??? segini nih. Gede banget tauuuuk. Kamu yang salah pokoknya! Kamu pikir aku wonder woman hah, aku nggak punya hati sekuat baja yang bisa mentoleransi itu semua!! (sambil tunjuk-tunjuk Udin, sambil marah-marah. Padahal saya tidak pernah seemosional ini sebelumnya. Tapi nggak tahu mungkin PMS kali ya. Trus si Udin diem doang nggak berkutik. Lain waktu dia minta maaf). Huft. Sabaaaaaaaaaar... Sabaaaaaaaaar

Lho kok bisa sih nggak suka sama si X? Emang dia salah apa?

X itu tipikal lelaki rigid. Kaku. Saya selalu bilang mungkin orang ini adalah robot yang terperangkap dalam tubuh manusia. Dia kaku sekali berkomunikasi. Sering bertingkah aneh. Suka tidak aware dengan lingkungan. Kalau pergi ya pergi aja gitu. Nggak pamit nggak salam. Maka temen-teman sering membully dia. Awalnya saya berempati sama dia. Kalau dia dibully temen-temen, saya bilang jangan lah kasian. Kemudian saya sampai pada suatu peristiwa dimana saya sakit hati pada dia. Ceritanya, saya diberi tugas untuk membuat poster untuk open recruitment programmer. Yang tahu klasifikasinya seperti apa kan dia. Ya saya tanya dong sama dia. Eh sama dia malah disuruh gugling. Carilah sendiri. Dia ngomong gitu dengan nada tinggi. Seakan saya ini tolol. Nggak berguna. Gitu aja pake nanyak-nanyak. Dan itu bikin saya sakit hati. Oke baiklah. Dan ternyata dia seriiiing banget ngomong dengan nada tinggi begitu pada teman-teman yang bikin teman-teman bete. Ya gimanalah saya mau respek pada orang kayak gitu. Saya kan ngeri pas temen-temen yang dengan teganya nggodain saya, ihir ihirin saya dengan dia. Lha nadanya ngomong aja kayak ngajakin berantem. Apakabar kesehatan mental anak dia nanti? hiiiy. Amiiit Amiit deh.

Alhasil manifestasi (ecieh) perilaku saya terhadap dia menjadi atos (keras). Saya tidak pernah mengajak dia berkomunikasi padahal dengan yang lain saya ramah sekali. Perhatian. Selalu saya tanya. Saya sapa. Saya ogah aja berinteraksi dengan dia. Males. Pertama males direspon dengan buruk oleh yang bersangkutan. Kedua males digodain sama temen-temen kalau saya perhatian sama dia. Saya sadar, kognisi dan emosi saya pada dia udah nggak sehat. Interaksi kami nggak sehat. Tapi gimanalah. Saya illfeel sama dia. 

Akhirnya, Tata, si Psikolog muda, konselor hidup saya bilang gini:
Ka, Yusti bilang, kamu harus bisa "berdamai dengan perasaanmu sendiri pada X". Ibaratnya gini nih. (tata menggandeng tangan saya) dia selalu ikut denganmu kemanapun kamu berada. Apa yang akan kamu lakukan?
Ya dilepasin lah. (jawab saya)
Bukan. Bukan dilepasin. Tapi dibawa, dibawa dengan penerimaan yang ikhlas. Diterima bahwa dia ada dalam hidupmu.
Waktu itu saya denial. Ogah deh Ta. Saya ketok-ketok meja. Amit-amit.

Setelah itu saya pulang. Saya nggak mikirin. Nah habis sholat Isya saya dilesakkan Allah pada satu kesadaran. Saya menangis. Entah mengapa. Tiba-tiba air mata saya meleleh. Duuh Gusti saya sudah keterlaluan pada perasaan saya. Akhirnya saya ikuti saran Tata. Saya coba bayangin wajah si X. Saya minta maaf. Beneran minta maaf. Bahkan saya berdoa, jika memang orang ini harus bersanding dengan saya, saya ikhlas. Apa coba yang saya rasakan? Plong. Plooong sekali. Damaaaaaaaiii sekali. Beneran cesss hati saya.
Saya juga beneran minta maaf secara pribadi lho pada dia. Maaf kalau selama ini atos. Sebetulnya ingin ketemu langsung tapi dianya nggak masuk kantor. Jadilah saya wasap aja kebetulan momennya pas mau masuk Ramadan kemarin. Dan hari berikutnya saya bisa menyapa dia dengan damai. Sama sekali tidak ada benci yang harus diamit-amitin. It's not just about forgiveness. It's about acceptance. Dan ternyata menerima dan berdamai itu indaaaaah sekali. Sekarang hidup saya lebih positif. Berinteraksi lebih positif. Yeayyy :))) 
Wanna try? ;)

Senin, 08 Juli 2013

Every mom has her own battle

When I say SUPERMOM, what’s crossing in your mind?
Mungkin beberapa hal di bawah ini ya:
Wanita
Dewasa
Lincah
Gesit
Ibu rumah tangga sejati
Rumah selalu rapi tanpa pembantu
Bisa masak apa aja, ngerjain apa aja, bahkan benerin genteng!
Bekerja  tapi keluarga harmonis
Karir suami yang bagus
Punya anak-anak penuh prestasi
Suami nggak korupsi
Aktif di masyarakat
Berkontribusi bagi lingkungan
Mobilitas tinggi tapi tetep bisa kasih ASI eksklusif
Bisa mengelola keuangan rumahtangga

Oke oke, kalau saya teruskan bisa setebal skripsi saya kali ya... heheh.
Kalau menurut saya tidak ada definisi saklek mengenai supermom. Masing-masing tentu punya definisi subjektif. Tergantung dari pengalaman dan cara pandang terhadap ibu-ibu hebat yang selama ini ditemui. Well, setiap ibu tentulah hebat. Mau statusnya wanita karir ataupun ibu rumah tangga tentu masing-masing punya sisi heroik tersendiri. Dalam hidup saya, ada beberapa wanita yang saya pandang supermom,yaitu  ibu saya dan mbah uti saya.

Kenapa ibu saya supermom? Ya karena dia ibu saya makanya saya pandang super. Hehe. Ibu sama saja sebetulnya seperti ibu-ibu pada umumnya. Pun banyak kurangnya dalam hal mendidik anak. Ketika besar dan belajar Psikologi baru saya sadar bahwa ada yang salah dalam pola pengasuhan ibu. Ibu bukan orang yang komunikatif dalam menyampaikan sesuatu kepada anak. Jarang memberikan apresiasi. Tapi juga jarang marah. Tipe orangtua yang permisif. Terlepas dari semua kekurangannya, ibu adalah sosok tangguh. Bagaimana tidak? Ibu saya seorang guru. Bekerja 8 jam sehari bahkan lebih tetapi masih nyapu, ngepel, memasak, mencuci baju, menyetrika, cuci piring, membersihkan kulkas, kamar mandi, garasi, kamar ketika di rumah. Mengasuh anak. Belanja. Menyediakan keperluan bapak yang super ribet. Bapak saya adalah tipikal lelaki ribet. Mau berangkat dinas ke luar kota, semua harus disiapin ibu. Cerewet sekali bertanya bawa sepatu apa yang pas. Bawa jaket atau tidak. Hmmmm... Bapak saya tiada dua deh. Bapak super ribet dan gak mau repot. Jadi apa-apa ibu yang menyiapkan. Mau upacara tujuhbelasan? Jas, dasi, kemeja, celana panjang harus siap di tempat tidur.

Dulu kami punya pembantu sampai adik saya masuk TK. Tapi selepas itu kami tak punya pembantu lagi. Baru sekarang-sekarang aja punya pembantu.  Soalnya dulu waktu ibu dan bapak berangkat haji, kami pikir rumah bakalan berantakan kalau hanya ditinggali adik lelaki saya yang masih SMA. Jadilah ibu meng-hire tetangga untuk bantu-bantu nyuci dan bersih-bersih. Itu pun hanya dua hari sekali sampai sekarang.  Jadi intinya semua ibu yang mengerjakan. Ibu saya adalah ibu rumah tangga sejati deh pokoknya. Pagi mencuci. Malam ketika kami tidur ibu setrika baju sekeluarga. Belum lagi kadang di sekolah ibu diberi kepercayaan menjadi bendahara apalah, panitia apalah, wakil apalah, wali kelas lah. Ngurus koperasi apalah. Jadi ketika kami mengerjakan pe er ibu turut juga mengerjakan pe er dari sekolah di luar tugasnya sebagai guru.

Di masyarakat? Ibu selalu kebagian tugas jadi entahlah sekretaris atau bendahara atau minimal seksi apalah gitu kalau arisan. Sekarang dikasih kepercayaan jadi bendahara TPQ, ngurusin honor ustadz ustadzah. Selain itu ibu juga sibuk dengan urusan darma wanita. Pernah juga jadi pengurus TK Pertiwi. Dan bla bla bla bla. Konsekuensi yang harus dijalani karena jabatan yang bapak saya pegang. Tapi sejauh ini, rumahtangga ibu dan bapak tetap harmonis. Anak-anaknya, saya dan adik saya belajar sebagai mana mestinya. Ibu tak pernah mengajarkan a dan b secara eksplisit. Tapi kami tahu diri untuk tidak merepotkan ibu dalam hal sekolah. Kami terbiasa pulang sekolah sendiri bahkan ketika kami masih kelas 1 SD. Adik saya bahkan di hari pertama sekolah SD sudah pulang naik angkot.

Ibu saya tangguh sekali ya. Kok bisa ya setangguh itu? Mungkin karena masa kecil ibu yang begitu sulit. Lepas SD, mbah kakung angkat tangan untuk membiayai ibu. Nggak kuat lagi. Ibu anak perempuan satu-satunya. Saudara lelakinya ada 5. Lebih baik adik-adiknya yang bersekolah. Bagaimanalah ibu tidak sekolah. Hasratnya begitu besar. Ibu juara kelas. Masa iya harus pupus untuk sekolah. Tapi ibu tidak patah semangat. Berbekal uang lima ratus rupiah hadiah kelulusan dari gurunya, Ibu mendaftar SMP. Untuk sekolah SMA, Ibu dibiayai oleh buliknya Ibu. Waktu itu ibu mendaftar SMK jurusan Tataboga. Ibu pintar bikin kue. Bisa menjahit juga. Pernah juga ibu dijanjikan akan disekolahkan oleh saudara di Jakarta. Taunya bohong. Malah disuruh bantu-bantu. Akhirnya ibu kabur berbekal cincin yang sengaja diberikan mbah uti untuk jaga-jaga. Kisah ibu buat saya luar biasa. Dari lulusan Tata Boga sekarang jadi guru Bahasa Inggris. Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris.Well, kesimpulan saya terhadap sosok ibu: wanita pekerja yang tetap mengurus rumahtangga dan mengabdi pada suami.

Bagaimana dengan sosok mbah uti?

Mbah uti (ibu dari bapak) adalah wanita selain ibu yang sangat dekat dengan saya. Dulu ketika adik saya lahir, mbah lah yang momong (mengasuh) saya. Mbah uti beruntung pernah mengenyam sekolah hingga SMP. Dulu mbah buyut putri sempat melarang mbah ti sekolah. Buat apa katanya. Tapi mbah buyut kakung mendukung mbah ti untuk terus sekolah.  Kata mbah buyut kakung jaman akan berubah. Bisa baca tulis itu wajib. Secara intelektual mbah uti cukup pintar. Bahkan setua sekarang masih gemar membaca terutama yang bertema kesehatan dan keagamaan.

Well, mbah uti menikah di usia 18 tahun dan dijodohkan. Beda 10 tahun dengan Mbah kakung yang seorang tentara. Pangkat mbah kakung rendah. Saya nggak mudeng dengan pangkat-pangkatan. Yang saya tahu mbah kakung adalah sopir. Ajudan dari seorang dokter tentara. Karena sebagai sopir dan ajudan, mbah kakung sering tugas luar kota bahkan luar negeri mengikuti pak dokter. Pernah juga ditugaskan menjadi pasukan perdamaian di Kongo. Mbah ti sering sekali ditinggal mbah kakung. Bayangkan, mbah ti punya anak lima. Laki-laki semua dengan jarak kelahiran yang tidak terlalu jauh. Sekitar dua tahun sekali punya anak. Rempongnya bisa lah dibayangkan. Mbah ti bercerita, kalau hamil mbah ti akan muntah-muntah sepanjang waktu nggak doyan makan, nggak pernah makan. Hamilnya aja lima kali begitu terus. Belum lagi ngurus anak-anak. Belum ngurus pekerjaan rumah tangga. Aaaak. Saya nggak bisa ngebayangin bisakah saya setangguh itu. Pernah mbah ti cerita, mbah ti harus pulang kampung ke desa, bawa anak-anak tiga biji dan saat itu dalam keadaan hamil anak ke empat. Padahal naik kendaraan umum. Jalan kaki kiloan meter sampai ke rumah mbah buyut yang saat itu belum beraspal. Kalau saya haduh tauk deh bisa ngejalanin nggak.

Yang saya kagumi dari mbah ti adalah beliau orang yang ulet. Untuk menyokong kebutuhan keluarga mbah ti buka warung. Warung apa aja ada deh. Kecil sih tapi ada macem-macem. Dari sayuran, minyak tanah, daging, sembako. Banyak lah. Mbah ti belanja di pasar. Trus dijual di rumah. Mbah ti juga sangat ketat urusan duit. Ya maklum lah dalam prinsip keluarga kami seluruh anak harus sekolah. Semua pengeluaran dicatat. Per anak ada buku khusus untuk pendidikan. Tidak ada asuransi. Yang penting mengencangkan ikat pinggang. Ditabung sebisanya. Hasilnya semua anak-anak mbah uti sarjana. Walaupun secara finansial tidak terlalu kecukupan, mbah ti dan mbah kung masih berusaha menyekolahkan saudara yang tidak bisa sekolah. Awal pernikahan, ada ponakan mbah kung yang ikut disekolahkan. Lalu adaaaa saja yang ikut mbah ti dan mbah kung untuk sekolah. Siapa saja, anak yatim yang ada di desa mbah ti atau mbah kung yang perlu dibantu akan diminta tinggal untuk dihidupi dan disekolahkan. Itu yang membuat saya bangga pada mbah ti. Mbah ti sempurna sebagai ibu rumah tangga yang mengabdi pada suami. Berdedikasi menambah penghasilan keluarga. Setia meski kehidupan hanya sederhana. Setia meski ditinggal tugas kemana-mana.

Dua role model di atas, ibu dan mbah ti, sudah cukup memberikan gambaran bagi saya betapa semua ibu, mau wanita karir atau ibu rumahtangga punya peran yang sama-sama berat dalam keluarga. Ibu adalah wanita karir tapi tetap menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga. Peran di pekerjaan dan keluarga maupun masyarakat tetap seimbang. Sementara mbah uti, ibu rumahtangga tetapi tetap berusaha menyokong ekonomi rumahtangga. Mengabdi sebagai istri prajurit. Setia saat suami di medan perang. Membesarkan anak-anak secara mandiri terkadang tanpa dukungan suami yang harus siap bertugas kapanpun waktunya. Masing-masing berdedikasi. Bagaimana dengan ibu Anda? Seluarbiasa apa perannya sebagai ibu? Sudah pasti SUPERMOM kan? :D

Para supermom. Yang tengah mbah ti pake baju oranye, baju ijo pojok kiri ibu saya

ps: judul kece ini terinspirasi dari sebuah artikel every mom has her own battle di situs theurbanmama.com