Senin, 08 Juli 2013

Every mom has her own battle

When I say SUPERMOM, what’s crossing in your mind?
Mungkin beberapa hal di bawah ini ya:
Wanita
Dewasa
Lincah
Gesit
Ibu rumah tangga sejati
Rumah selalu rapi tanpa pembantu
Bisa masak apa aja, ngerjain apa aja, bahkan benerin genteng!
Bekerja  tapi keluarga harmonis
Karir suami yang bagus
Punya anak-anak penuh prestasi
Suami nggak korupsi
Aktif di masyarakat
Berkontribusi bagi lingkungan
Mobilitas tinggi tapi tetep bisa kasih ASI eksklusif
Bisa mengelola keuangan rumahtangga

Oke oke, kalau saya teruskan bisa setebal skripsi saya kali ya... heheh.
Kalau menurut saya tidak ada definisi saklek mengenai supermom. Masing-masing tentu punya definisi subjektif. Tergantung dari pengalaman dan cara pandang terhadap ibu-ibu hebat yang selama ini ditemui. Well, setiap ibu tentulah hebat. Mau statusnya wanita karir ataupun ibu rumah tangga tentu masing-masing punya sisi heroik tersendiri. Dalam hidup saya, ada beberapa wanita yang saya pandang supermom,yaitu  ibu saya dan mbah uti saya.

Kenapa ibu saya supermom? Ya karena dia ibu saya makanya saya pandang super. Hehe. Ibu sama saja sebetulnya seperti ibu-ibu pada umumnya. Pun banyak kurangnya dalam hal mendidik anak. Ketika besar dan belajar Psikologi baru saya sadar bahwa ada yang salah dalam pola pengasuhan ibu. Ibu bukan orang yang komunikatif dalam menyampaikan sesuatu kepada anak. Jarang memberikan apresiasi. Tapi juga jarang marah. Tipe orangtua yang permisif. Terlepas dari semua kekurangannya, ibu adalah sosok tangguh. Bagaimana tidak? Ibu saya seorang guru. Bekerja 8 jam sehari bahkan lebih tetapi masih nyapu, ngepel, memasak, mencuci baju, menyetrika, cuci piring, membersihkan kulkas, kamar mandi, garasi, kamar ketika di rumah. Mengasuh anak. Belanja. Menyediakan keperluan bapak yang super ribet. Bapak saya adalah tipikal lelaki ribet. Mau berangkat dinas ke luar kota, semua harus disiapin ibu. Cerewet sekali bertanya bawa sepatu apa yang pas. Bawa jaket atau tidak. Hmmmm... Bapak saya tiada dua deh. Bapak super ribet dan gak mau repot. Jadi apa-apa ibu yang menyiapkan. Mau upacara tujuhbelasan? Jas, dasi, kemeja, celana panjang harus siap di tempat tidur.

Dulu kami punya pembantu sampai adik saya masuk TK. Tapi selepas itu kami tak punya pembantu lagi. Baru sekarang-sekarang aja punya pembantu.  Soalnya dulu waktu ibu dan bapak berangkat haji, kami pikir rumah bakalan berantakan kalau hanya ditinggali adik lelaki saya yang masih SMA. Jadilah ibu meng-hire tetangga untuk bantu-bantu nyuci dan bersih-bersih. Itu pun hanya dua hari sekali sampai sekarang.  Jadi intinya semua ibu yang mengerjakan. Ibu saya adalah ibu rumah tangga sejati deh pokoknya. Pagi mencuci. Malam ketika kami tidur ibu setrika baju sekeluarga. Belum lagi kadang di sekolah ibu diberi kepercayaan menjadi bendahara apalah, panitia apalah, wakil apalah, wali kelas lah. Ngurus koperasi apalah. Jadi ketika kami mengerjakan pe er ibu turut juga mengerjakan pe er dari sekolah di luar tugasnya sebagai guru.

Di masyarakat? Ibu selalu kebagian tugas jadi entahlah sekretaris atau bendahara atau minimal seksi apalah gitu kalau arisan. Sekarang dikasih kepercayaan jadi bendahara TPQ, ngurusin honor ustadz ustadzah. Selain itu ibu juga sibuk dengan urusan darma wanita. Pernah juga jadi pengurus TK Pertiwi. Dan bla bla bla bla. Konsekuensi yang harus dijalani karena jabatan yang bapak saya pegang. Tapi sejauh ini, rumahtangga ibu dan bapak tetap harmonis. Anak-anaknya, saya dan adik saya belajar sebagai mana mestinya. Ibu tak pernah mengajarkan a dan b secara eksplisit. Tapi kami tahu diri untuk tidak merepotkan ibu dalam hal sekolah. Kami terbiasa pulang sekolah sendiri bahkan ketika kami masih kelas 1 SD. Adik saya bahkan di hari pertama sekolah SD sudah pulang naik angkot.

Ibu saya tangguh sekali ya. Kok bisa ya setangguh itu? Mungkin karena masa kecil ibu yang begitu sulit. Lepas SD, mbah kakung angkat tangan untuk membiayai ibu. Nggak kuat lagi. Ibu anak perempuan satu-satunya. Saudara lelakinya ada 5. Lebih baik adik-adiknya yang bersekolah. Bagaimanalah ibu tidak sekolah. Hasratnya begitu besar. Ibu juara kelas. Masa iya harus pupus untuk sekolah. Tapi ibu tidak patah semangat. Berbekal uang lima ratus rupiah hadiah kelulusan dari gurunya, Ibu mendaftar SMP. Untuk sekolah SMA, Ibu dibiayai oleh buliknya Ibu. Waktu itu ibu mendaftar SMK jurusan Tataboga. Ibu pintar bikin kue. Bisa menjahit juga. Pernah juga ibu dijanjikan akan disekolahkan oleh saudara di Jakarta. Taunya bohong. Malah disuruh bantu-bantu. Akhirnya ibu kabur berbekal cincin yang sengaja diberikan mbah uti untuk jaga-jaga. Kisah ibu buat saya luar biasa. Dari lulusan Tata Boga sekarang jadi guru Bahasa Inggris. Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris.Well, kesimpulan saya terhadap sosok ibu: wanita pekerja yang tetap mengurus rumahtangga dan mengabdi pada suami.

Bagaimana dengan sosok mbah uti?

Mbah uti (ibu dari bapak) adalah wanita selain ibu yang sangat dekat dengan saya. Dulu ketika adik saya lahir, mbah lah yang momong (mengasuh) saya. Mbah uti beruntung pernah mengenyam sekolah hingga SMP. Dulu mbah buyut putri sempat melarang mbah ti sekolah. Buat apa katanya. Tapi mbah buyut kakung mendukung mbah ti untuk terus sekolah.  Kata mbah buyut kakung jaman akan berubah. Bisa baca tulis itu wajib. Secara intelektual mbah uti cukup pintar. Bahkan setua sekarang masih gemar membaca terutama yang bertema kesehatan dan keagamaan.

Well, mbah uti menikah di usia 18 tahun dan dijodohkan. Beda 10 tahun dengan Mbah kakung yang seorang tentara. Pangkat mbah kakung rendah. Saya nggak mudeng dengan pangkat-pangkatan. Yang saya tahu mbah kakung adalah sopir. Ajudan dari seorang dokter tentara. Karena sebagai sopir dan ajudan, mbah kakung sering tugas luar kota bahkan luar negeri mengikuti pak dokter. Pernah juga ditugaskan menjadi pasukan perdamaian di Kongo. Mbah ti sering sekali ditinggal mbah kakung. Bayangkan, mbah ti punya anak lima. Laki-laki semua dengan jarak kelahiran yang tidak terlalu jauh. Sekitar dua tahun sekali punya anak. Rempongnya bisa lah dibayangkan. Mbah ti bercerita, kalau hamil mbah ti akan muntah-muntah sepanjang waktu nggak doyan makan, nggak pernah makan. Hamilnya aja lima kali begitu terus. Belum lagi ngurus anak-anak. Belum ngurus pekerjaan rumah tangga. Aaaak. Saya nggak bisa ngebayangin bisakah saya setangguh itu. Pernah mbah ti cerita, mbah ti harus pulang kampung ke desa, bawa anak-anak tiga biji dan saat itu dalam keadaan hamil anak ke empat. Padahal naik kendaraan umum. Jalan kaki kiloan meter sampai ke rumah mbah buyut yang saat itu belum beraspal. Kalau saya haduh tauk deh bisa ngejalanin nggak.

Yang saya kagumi dari mbah ti adalah beliau orang yang ulet. Untuk menyokong kebutuhan keluarga mbah ti buka warung. Warung apa aja ada deh. Kecil sih tapi ada macem-macem. Dari sayuran, minyak tanah, daging, sembako. Banyak lah. Mbah ti belanja di pasar. Trus dijual di rumah. Mbah ti juga sangat ketat urusan duit. Ya maklum lah dalam prinsip keluarga kami seluruh anak harus sekolah. Semua pengeluaran dicatat. Per anak ada buku khusus untuk pendidikan. Tidak ada asuransi. Yang penting mengencangkan ikat pinggang. Ditabung sebisanya. Hasilnya semua anak-anak mbah uti sarjana. Walaupun secara finansial tidak terlalu kecukupan, mbah ti dan mbah kung masih berusaha menyekolahkan saudara yang tidak bisa sekolah. Awal pernikahan, ada ponakan mbah kung yang ikut disekolahkan. Lalu adaaaa saja yang ikut mbah ti dan mbah kung untuk sekolah. Siapa saja, anak yatim yang ada di desa mbah ti atau mbah kung yang perlu dibantu akan diminta tinggal untuk dihidupi dan disekolahkan. Itu yang membuat saya bangga pada mbah ti. Mbah ti sempurna sebagai ibu rumah tangga yang mengabdi pada suami. Berdedikasi menambah penghasilan keluarga. Setia meski kehidupan hanya sederhana. Setia meski ditinggal tugas kemana-mana.

Dua role model di atas, ibu dan mbah ti, sudah cukup memberikan gambaran bagi saya betapa semua ibu, mau wanita karir atau ibu rumahtangga punya peran yang sama-sama berat dalam keluarga. Ibu adalah wanita karir tapi tetap menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga. Peran di pekerjaan dan keluarga maupun masyarakat tetap seimbang. Sementara mbah uti, ibu rumahtangga tetapi tetap berusaha menyokong ekonomi rumahtangga. Mengabdi sebagai istri prajurit. Setia saat suami di medan perang. Membesarkan anak-anak secara mandiri terkadang tanpa dukungan suami yang harus siap bertugas kapanpun waktunya. Masing-masing berdedikasi. Bagaimana dengan ibu Anda? Seluarbiasa apa perannya sebagai ibu? Sudah pasti SUPERMOM kan? :D

Para supermom. Yang tengah mbah ti pake baju oranye, baju ijo pojok kiri ibu saya

ps: judul kece ini terinspirasi dari sebuah artikel every mom has her own battle di situs theurbanmama.com




1 komentar: